Fermentasi Terkontrol: Menyelamatkan Biji Kopi Belum Matang dan Meningkatkan Nilai Specialty
Dalam dunia kopi, kualitas dimulai dari kebun. Selama ini, petani kopi cenderung hanya memanen buah yang sudah matang sempurna berwarna merah cerah dan manis, karena diyakini menghasilkan cita rasa terbaik. Buah kopi yang belum matang (biasanya berwarna hijau atau kuning muda) sering dianggap cacat dan dibuang, atau dicampur tanpa seleksi yang ketat. Akibatnya, sebagian besar biji belum matang menjadi limbah yang menurunkan skor cupping dan merugikan nilai jual.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa paradigma ini mulai berubah. Sebuah studi yang dirilis pada pertengahan tahun 2025 oleh tim ilmuwan dari Brasil dan Swiss menemukan bahwa biji kopi yang belum matang ternyata masih memiliki potensi besar asalkan diproses dengan teknik fermentasi terkontrol.
Apa itu fermentasi terkontrol?
Fermentasi pada kopi bukan hal baru. Proses ini sudah lama digunakan untuk menguraikan lapisan lendir (mucilage) yang melekat pada biji. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti mulai mempelajari fermentasi bukan hanya sebagai tahap pembersihan, tetapi juga sebagai sarana modifikasi rasa dan aroma.
Fermentasi terkontrol berarti seluruh proses dilakukan dengan pengaturan parameter ilmiah yang presisi meliputi:
- Suhu: biasanya antara 15–30 °C, tergantung mikroba yang digunakan.
- Waktu: 12–72 jam, tergantung target profil rasa.
- Kadar oksigen: bisa dilakukan dalam kondisi aerobik (ada udara) atau anaerobik (tanpa udara, misalnya dalam tangki tertutup).
- Jenis mikroba: beberapa studi bahkan menambahkan starter culture seperti Saccharomyces cerevisiae (ragi roti), Lactobacillus plantarum, atau bakteri asam laktat lain untuk menjaga kestabilan fermentasi.
Dengan cara ini, aktivitas mikroba dapat diarahkan untuk mengubah senyawa kimia dalam biji kopi, seperti asam organik, gula, dan senyawa volatil yang memengaruhi rasa akhir kopi.
Biji belum matang: dari cacat menjadi peluang
Biji kopi yang belum matang biasanya memiliki kadar gula lebih rendah dan tingkat keasaman lebih tinggi. Secara alami, hal ini menyebabkan rasa akhir yang pahit, sepat, atau grassy (beraroma daun).
Namun, penelitian tahun 2025 yang dilakukan oleh tim peneliti dari Federal University of Lavras (UFLA), Brasil, menemukan bahwa fermentasi anaerobik yang terkontrol mampu menurunkan rasa pahit dan meningkatkan kompleksitas aroma.
Dalam uji coba tersebut:
- Biji belum matang difermentasi selama 36 jam di tangki tertutup tanpa oksigen.
- Selama proses, kadar asam laktat meningkat, menandakan aktivitas bakteri fermentasi yang sehat.
- Hasil cupping menunjukkan peningkatan skor dari kisaran 72 (komersial biasa) menjadi 82–84 (kategori specialty).
Artinya, dengan intervensi sains, biji yang dulu dianggap tidak layak jual kini bisa naik kelas menjadi kopi bernilai tinggi.
Dampak besar bagi petani dan industri
Temuan ini membuka peluang baru bagi petani kopi, terutama di negara produsen seperti Indonesia, Brasil, atau Kolombia. Dalam praktiknya, petani sering kali menghadapi ketidakteraturan panen tidak semua buah matang serempak. Biasanya, biji yang belum matang tercampur dengan yang matang, menurunkan kualitas keseluruhan.
Dengan penerapan fermentasi terkontrol, biji-biji belum matang kini bisa diolah secara terpisah menjadi produk berbeda, bukan sekadar limbah.
Manfaatnya:
- Nilai tambah baru. Biji yang semula tidak laku bisa dijual dengan harga specialty jika diolah dengan benar.
- Efisiensi hasil panen. Tidak perlu membuang atau menyeleksi terlalu ketat di lapangan, karena masih ada opsi pascapanen yang memperbaiki kualitas.
- Diversifikasi rasa. Fermentasi menciptakan profil rasa unik floral, fruity, kadang berkaramel yang bisa menarik pasar kopi premium dan micro-lot.
Potensi penerapan di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbesar dunia, namun masih banyak petani yang menjual kopi dalam bentuk asalan (bulk). Dengan teknik fermentasi terkontrol, para petani, koperasi, dan roaster lokal dapat mengoptimalkan seluruh panen, meningkatkan nilai jual, sekaligus memperkenalkan karakter rasa baru yang khas daerah.
Misalnya:
- Di Aceh Gayo, fermentasi anaerobik bisa menghasilkan profil rasa lebih bersih dan manis.
- Di Toraja atau Flores, kontrol mikroba bisa mempertahankan keasaman lembut dengan aroma floral.
- Di Jawa atau Lampung, fermentasi berlapis (kombinasi anaerobik dan aerobik) bisa menciptakan rasa fermentatif ringan yang disukai pasar specialty global.
Selain itu, teknik ini juga selaras dengan tren industri kopi global yang semakin menghargai inovasi pascapanen dan keberlanjutan. Biji yang dulu terbuang kini dapat dimanfaatkan sepenuhnya, mengurangi limbah dan meningkatkan pendapatan petani.
Arah riset selanjutnya
Para peneliti kini terus mengeksplorasi kombinasi mikroba dan kondisi fermentasi untuk menciptakan signature flavor profile. Bahkan ada eksperimen yang memanfaatkan mikroba lokal dari kulit kopi atau udara sekitar kebun untuk menghasilkan rasa khas terroir mikrobiologis dari setiap daerah.
Beberapa laboratorium di Amerika Latin dan Asia juga sedang meneliti kemungkinan membuat starter culture khusus kopi Indonesia, agar hasil fermentasi lebih konsisten dan sesuai selera pasar domestik maupun internasional.
Kesimpulan
Fermentasi terkontrol bukan sekadar inovasi teknis, melainkan revolusi kecil dalam industri kopi. Ia menantang asumsi lama bahwa hanya buah matang yang berharga, sekaligus membuka pintu bagi praktik yang lebih berkelanjutan, efisien, dan bernilai tinggi.
Dengan pendekatan ilmiah yang tepat, defect beans bisa berubah menjadi distinct beans biji dengan karakter unik, bernilai ekonomi lebih tinggi, dan rasa yang memikat di setiap cangkir.
Kopi masa depan bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang ilmu, keberlanjutan, dan kreativitas dalam setiap tetesnya.